DATA makroekonomi 2013 secara menyeluruh telah diumumkan oleh
Badan Pusat Statistik, beberapa waktu lalu. Hasilnya, hampir seluruh asumsi
makroekonomi yang dibuat pemerintah–sebagaimana tertuang dalam APBN
Perubahan–berantakan, baik itu dibaca dari data pertumbuhan ekonomi, inflasi,
nilai tukar mata uang, angka kemiskinan, angka pengangguran, defisit
perdagangan, maupun data lainnya.

Mendekati usia senja
kekuasaan, tampaknya kinerja ekonomi makin memburuk dan target ekonomi
pemerintah periode 2009-2014 tak akan tercapai. Persoalan kemiskinan dan
pengangguran memang mencemaskan karena mengalami kenaikan pada 2013. Namun,
satu soal lagi yang lebih rumit diurus adalah ketimpangan (pendapatan). Sejak
2004, pola ketimpangan (berbeda dengan kemiskinan dan pengangguran) mudah
dibaca: terus menanjak. Pada 2011, rasio gini untuk pertama kali menembus 0,41
dan awet sampai sekarang. Secara teoretis, ketimpangan yang tinggi akan menekan
pertumbuhan ekonomi sehingga ikhtiar menurunkan kemiskinan dan pengangguran
kian sukar.

Kurva terbalik

Sampai dekade 1990-an,
para ekonom masih yakin dengan postulat Kuznets Curve yang menyatakan, pada
tahap awal pembangunan biasanya akan diikuti dengan kenaikan ketimpangan dan
akan menurun setelah pembangunan relatif mapan (kurva U terbalik). Kuznets
mengambil kesimpulan itu setelah meneliti puluhan negara yang melakukan
pembangunan dalam beberapa dekade dan mendapati pola yang semacam itu.

Namun, temuan itu kurang
relevan untuk memotret keadaan saat ini karena perkembangan yang tak dapat diprediksi
pada masa itu. Pertama, integrasi ekonomi berlangsung begitu masif dengan
difasilitasi oleh liberalisasi ekonomi. Nyaris tak ada ruang bagi suatu negara
mendesain kebijakan ekonomi domestik secara otonom sesuai kebutuhan karena
dipagari oleh kesepakatan internasional. Kedua, perkembangan sektor keuangan
yang sedemikian pesat mengakibatkan terjadinya pemusatan formasi modal dan
terhentinya gemuruh aktivitas sektor riil yang dihuni sebagian besar pekerja.

Liberalisasi ekonomi
membawa Posts buruk dan bagus sekaligus. Warta buruknya, percepatan dan
pembesaran kegiatan ekonomi di seluruh negara hanya memihak pelaku ekonomi yang
bisa memungut peluang ekonomi, tentu saja bagi mereka yang bagus
pengetahuannya, luas jaringannya, dan cukup kapitalnya. Selebihnya, sebagian
besar pelaku ekonomi harus gigit jari setiap kali melihat kesempatan ekonomi
berseliweran di hadapannya karena tak memiliki keterampilan, defisit koneksi,
dan cekak modal. Ini salah satu yang membuat ketimpangan pendapatan meningkat
dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Posts
“bagusnya”, Indonesia punya teman yang banyak. Ketimpangan pendapatan
yang meningkat terjadi di banyak negara, misalnya China dan Malaysia, sehingga
tragedi ini menjadi isu bersama. Cerita “bagus” ini selalu menjadi
tameng pemerintah untuk berkelit dari kritik tajam yang dilontarkan oleh banyak
kalangan soal tren ketimpangan yang meningkat: ini fenomena global.

Salah satu sektor yang
paling diuntungkan dari integrasi dan liberalisasi ekonomi adalah sektor
keuangan. Transaksi sektor keuangan saat ini diperkirakan 5 kali lipat dari
transaksi perdagangan sehingga menimbulkan gelembung ekonomi yang besar.
Instrumen-instrumen derivatif banyak diproduksi tanpa aneka rintangan regulasi
yang sebagian menjadi sumber terciptanya instabilitas di sektor keuangan itu
sendiri. Krisis ekonomi global pada 2008 lalu, misalnya, bersumber dari
instrumen derivatif di pasar keuangan dengan bungkus subprime mortgage.

Realitas ini menimbulkan
ketakseimbangan antara sektor keuangan dan sektor lainnya. Implikasinya bukan
hanya menyebabkan kerentanan pada sektor keuangan, melainkan juga menimbulkan
perbedaan nisbah ekonomi antarpelaku ekonomi. Kelompok yang beroperasi di
sektor keuangan (dalam jumlah sedikit) menikmati bonanza yang luar biasa,
sebaliknya yang terkotak di sektor riil terperosok dalam stagnasi yang panjang.

Formasi modal

Bagaimana kisah tentang
Indonesia? Indonesia melakukan liberalisasi yang sistematis sejak 1998 meski
sebagian telah diinisiasi pada dekade 1980-an (khususnya perbankan). Sektor
pertanian merupakan salah satu ruang ekonomi yang mendapat tekanan hebat
liberalisasi saat itu sehingga tarif impor menjadi sangat rendah, proteksi
dikurangi, dan kewenangan Perum Bulog dipreteli. Sejak saat itu sektor
pertanian terus mengalami involusi dan menjadi kisah pedih tak berkesudahan
hingga sekarang. Nilai tukar petani terus menurun, insentif produksi makin
kecil, dan tata niaga sangat distortif.

Rata-rata tarif impor
produk pertanian Indonesia sekitar 10 persen, padahal India 35 persen, Vietnam
25 persen, Thailand 24 persen, dan China 17 persen (The Economist, 2011).
Sementara itu, saat liberalisasi sektor pertanian terjadi secara masif, tata
niaga pertanian yang oligopoli tak tersentuh. Implikasinya, pelaku di hulu yang
sudah terhuyung menjadi kian lemah berhadapan dengan pedagang di hilir. Sistem
tata niaga ini menjadi penyedot kesejahteraan petani yang efektif pada saat
peran Perum Bulog telah dipangkas.

Berikutnya, seperti yang
disampaikan di muka, sektor ekonomi yang memperoleh insentif paling besar
adalah sektor nontradeable. Misalnya, pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78
persen, tetapi pertumbuhan tinggi disumbang oleh sektor nontradeable. Sektor
komunikasi, misalnya, tumbuh 10,19 persen. Sebaliknya sektor riil semacam sektor
pertanian (3,5 persen), industri (5,6 persen), dan pertambangan (1,34 persen)
tumbuh rendah (BPS, 2014).

Sektor-sektor itu
sekaligus membuka peran yang besar bagi investasi luar negeri untuk berkiprah
sehingga sebagian pertumbuhan itu dinikmati oleh asing dan laba yang diperoleh
dilarikan ke negara asal (repatriasi). Mereka yang masuk dalam gerbong
pertumbuhan tinggi ini bisa memperoleh kenaikan pendapatan lebih dari 20 persen
per tahun, sedangkan di sektor riil kenaikan pendapatan hanya berkisar 8 persen.
Jadi, mereka yang bekerja di sektor riil pendapatannya juga meningkat, tetapi
jauh tertinggal dibandingkan dengan yang bekerja di sektor nontradeable.

Model pembangunan itulah
yang menyebabkan terjadinya pemusatan formasi modal, persis seperti yang disampaikan
oleh Krugman (2012). Liberalisasi ekonomi menjadi fasilitator yang bagus bagi
terjadinya penumpukan kapital pada sedikit orang dengan pembukaan peluang
ekonomi yang besar. Jika berbicara pada konteks faktor produksi, modal dan
tanah merupakan kunci yang terpenting (lainnya adalah keterampilan tenaga
kerja). Formasi modal di Indonesia bisa dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) di
perbankan. Jumlah rekening di perbankan sampai Juli 2013 sekitar 128,7 juta
dengan total DPK Rp 3.435 triliun. Jika dipecah, jumlah rekening yang memiliki
dana di bawah Rp 100 juta sekitar 125,6 juta (97,6 persen) dengan total dana Rp
529 triliun (15,41 persen). Sebaliknya, jumlah rekening di atas Rp 5 miliar
hanya sekitar 59.000 (0,05 persen), tetapi menguasai Rp 1.526 triliun DPK
(44,44 persen) (LPS, 2013). Betapa miris melihat pola penguasaan modal ini.

Pajak progresif

Ketimpangan lainnya
adalah penguasaan lahan. Berdasarkan studi yang dilakukan Rusastra dkk (dalam
Siregar, 2013), rasio gini penguasaan lahan telah mencapai 0,717 (dengan data
sensus pertanian 2003). Ini sangat fantastis karena mendekati disparitas
sempurna. Di sektor perkebunan, sektor privat (korporasi) diberikan keleluasaan
untuk menguasai lahan hingga ratusan ribu hektar. Pola ini antara lain bisa
dilihat pada komoditas kelapa sawit (pada 1980 swasta besar hanya memiliki
sekitar 9000 hektar, tetapi pada 2010 mencapai 4 juta hektar). Sebaliknya,
penguasaan lahan sawah rumah tangga petani kian menciut. Setiap tahun sekitar
100.000 hektar lahan sawah dikonversi untuk kepentingan lain, sementara
pemerintah cuma sanggup mencetak sekitar 40.000 hektar sawah baru. Sekarang
rumah tangga petani yang memiliki lahan di bawah 0,5 hektar lebih dari 80
persen dari total petani. Tentu saja mereka ini selamanya akan jadi kelas paria
dalam gemuruh pembangunan.

Dalam konteks ini salah
satu solusinya adalah kebijakan fiskal dan reformasi agraria. Negara-negara
Eropa (Austria, Jerman, Perancis, Denmark, Swedia, Finlandia, Luksemburg, dan
lain-lain) rasio gininya dikenal rendah (di bawah 0,32) bukan karena sistemnya
sempurna, melainkan karena kebijakan pajak progresif dan dana transfer
pemerintah. Negara-negara di atas, rasio gini untuk market income (pendapatan
sebelum pajak dan transfer pemerintah) sangat tinggi (timpang), di atas 0,42.
Namun, begitu dihitung gross income (market income ditambah dana transfer
pemerintah) rasio gini langsung anjlok di bawah 0,36. Bahkan, jika dilihat dari
disposable income (gross income dikurangi pajak langsung) rasio turun lagi di
bawah 0,30 (Austria 0,25; Belgia 0,29; Denmark 0,29; Jerman 0,26; dan
Luksemburg 0,24) (L
pez dan
Serv
ѐn, 2011). Pola ini berbeda dengan Amerika Latin di mana rasio
gini market income, gross income, dan disposable income nyaris sama, di atas
0,48 (Indonesia polanya sepert
i ini).

Berikutnya, reformasi
agraria harus dijadikan agenda untuk dieksekusi. Modelnya merupakan kombinasi
dari pembukaan lahan baru/menganggur untuk dibagikan kepada petani
tunatanah/yang berlahan kecil (dengan mekanisme tertentu) dan pembatasan
penguasaan/kepemilikan luas lahan. Spirit pembatasan penguasaan luas lahan itu
sebetulnya telah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Apabila model ini yang
diambil, ketimpangan pendapatan bisa diredam sejak dari hulu (karena distribusi
faktor produksi yang merata). Sementara itu, pajak progresif dan transfer
pemerintah merupakan instrumen pemerataan yang menyasar di hilirnya. Perpaduan
kebijakan ini diharapkan manjur mengurangi ketimpangan pendapatan. Selebihnya,
pemerintah tinggal mengkaji ulang proyek liberalisasi dan menata arah
pembangunan (tentu dengan rincian pekerjaan yang banyak, misalnya perbaikan
kualitas manusia). Intinya, patologi ketimpangan ini harus segera dihentikan
agar tidak menjadi bola salju yang terus menggelinding dan merusak tatanan lain
yang telah disusun sebelumnya. Siapa berani mengeksekusi?

Ahmad Erani
Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Sumber: http://print.kompas.com

  • Berita/Post
Indef Administrator
, Indef
The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) is an independent and autonomous research and policy studies institution established on August 1995 in Jakarta
follow me

Leave a Reply

Close